Figur dan Perjalanan Hidup Al
Ghazali Menuju Tasawuf
Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad
al-Ghazali, lahir di Ghazaleh--sebuah kota kecil dekat Thus di Khurasan --pada
tahun 450 H/1058 M, 5 empat setengah abad setelah hijrahnya Nabi Muhammad dari
Mekah ke Madinah (W. Montgomery Watt, Muslim Intelectual A Study of
Al-Ghazali, Edinburgh at The University Press, 1963, hal. 19) dan kira-kira
bersamaan dengan pengangkatan Sultan Alp Arselan ke singgasana Saljuk. Ia
meninggal dunia pada usia sekitar lima puluh lima tahun, pada tahun 1111 M. ( W.
MontGomery Watt "Ghazali, Abu Hamid Al-" dalam Mircea Eliade (Ed.),
The Encyclopedia of Religion, Vol 5, Macmillan Publishing Company, New York
& London, hal 541) di Tabaran, sebuah kota dekat Thus. ( Abdul
Qayyum, Letters of Al-Ghazali, diterjemahkan oleh Haidar Baqir, Surat-surat
Al-Ghazali, Cet. V, Mizan, Bandung 1993, hal. 1) Al-Ghazali menghabiskan
beberapa waktu pada salah satu sekolah agama di daerahnya dan belajar fiqh
serta dasar-dasar ilmu Arab kepada Ahmad bin Muhammad al-Radzkani pada tahun
465 H/1073. ( Umar Farrukh, Tarikh al-Fikr al-Araby, Dar al-Ilm Li
al-Malayin, Beirut, hal. 485; Pengantar Ahmad Syamsuddin dalam Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Majmu'at Rasail al-Imam
al-Ghazali : Al Munqidz min al-Dlalal, Qanun al-Ta'wil, Al Ahadits al-Qudsiyah,
Dar al- Kutub al--Ilmiyah, Beirut, Libanon, Cet. I, 1988, hal 5.) Pada saat
berusia kurang dari dua puluh tahun, ia pindah ke Jurjan untuk belajar kepada
seorang Imam madzhab Syafi'i, ahli hadits, dan ahli sastra yaitu Imam
al-Allamah Abu Nashr al-Isma'ili Al Jurjani (404-477 H). Dari Syekh Ismail,
Ghazali menuliskan sejumlah komentar dalam masalah Fiqh. ( Ibid, hal. 485)
Di Jurjan, ia mulai menuliskan ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya. (Thaha Abd
al Baqi Surur, op.cit., hal. 19) Namun, di tempat ini, tampaknya al-Ghazali
tidak mendapat keun-tungan rasional dari apa yang ia tulis dan ia dengar. Dia
mem-baca dan menulis dengan cepat tanpa memberikan perhatian. (Lihat Thaha Abd
al Baqi Surur, op.cit., hal. 19-20. Dalam buku ini dikisahkan penuturan
al-Ghazali: "Suatu saat ka-mi dirampok (Barangkali pada saat kepulangannya
dari Jurjan, pen.). Para perampok merampas semua yang kami dan membawanya
pergi. Akan tetapi, kami selalu mengikuti ke mana mereka pergi. Pemimpin
perampok tersebut marah besar dan mengatakan: "Pulang-lah kamu. Kalau
tidak kamu akan binasa". Saya jawab: "Saya mohon Anda mengembalikan
catatan kuliah saya". Dia bertanya: "Yang manakah catatan
kamu?". Saya jawab: "Yang ada dalam bung-kusan itu. Demi untuk
mendengarkan, menulis dan mengetahui ilmu itulah saya pergi mengembara".
Serta merta Sang pemimpin peram-pok itu tertawa berderai seraya mengejek :
"Bagaimana kamu bisa mengetahui ilmunya, padahal buku itu sudah kami
rampas dan kamu tidak bisa mengetahuinya lagi." Kemudian dia memerintahkan
sebagian anak buahnya mengembalikan bungkusan itu kepada saya. Peristiwa itu
menimbilkan pengaruh yang begitu besar dalam jiwa saya...Ketika sampai di Thus,
saya segera berkonsentrasi selama tiga tahun hingga saya hafal semua yang saya
pelajari. Andaikan dirampok lagi saya tidak akan bingung)
Dari Jurjan, al-Ghazali kembali ke Thus. Di sini, selama tiga tahun ia
berkonsentrasi mempelajari ilmu yang dia pelajari di Jurjan sebelumnya sehingga
dia hapal semua yang dipelajari-nya. ( Thaha Abd al Baqi Surur, op.cit.,
hal. 21.; Watt, op.cit, hal. 21) Selanjutnya ia berangkat ke Nisapur, kota
di Khurasan yang menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan penting di dunia
Islam pada saat itu,dan belajar di sana.
Disana, ia berguru pada salah seorang teolog Asy'ariyah, Abu al-Ma'ali
al-Juwaini yang dikenal dengan sebutan Imam al-Haramain, guru besar di madrasah
al-Nizamiah Nisapur. Mata pelajaran yang diberikan di madrasah ini antara lain:
teologi, fiqh, ushul fiqh, filsafat, logika, sufisme dan ilmu alam. ( Ahmad
Syamsuddin dalam al-Ghazali, Majmu'at Rasail al-Imam al-Ghazali : Al Munqidz
min al-Dlalal, hal. 5)
Fase ini dipandang sebagai fase yang paling memiliki pengaruh dalam sejarah
kehidupan al--Ghazali dan starting point keraguan-keraguan yang menimpa
jiwa-nya. ( Ibid.)
Setelah wafatnya Imam Haramain (478 H/1085), al-Ghazali pergi ke Istana Nizamul
Muluk di Nisapur. Nizamul Muluk dikenal sebagai orang yang dekat dengan ulama
dan para sastrawan. Di sana, Nizamul Muluk kagum pada peguasaan ilmu al-Ghazali
dan kemampuannya dalam bertukar pikiran. Kekaguman ini kemudian me-ngantarnya
pada posisi sebagai pengajar di Madrasah Nidzamiyah Baghdad setelah penunjukan
dirinya oleh Nizamul Muluk untuk me-nempati posisi tersebut pada tahun 484
H./1091. (Umar Farrukh, op.cit, hal. 486; Ahmad Syamsuddin, op.cit, hal. 6)
Dari penunju-kannnya ini, al-Ghazali memulai sebuah tahap kehidupan barunya di
Baghdad. Ia masuk ke kota Baghdad disaat ia menginjak peng-hujung usia mudanya.
Di sana ia mendapat keagungan dan kemasyhuran yang meluas.
Dalam fase kehidupannya di Baghdad ini, al-Ghazali melakukan
pengembangan dan perluasan ilmunya melalui aktifitas yang intensif dalam
penelitian dan pengkajian. Ia mempelajari filsafat secara mendalam dan mengkaji
kitab-kitab para filosof terdahulu seperti Al-Farabi dan Ibn Sina. Wujud dari
studi intensifnya ini adalah tersusunnya kitab "Maqasid Al-Falasifah"
dan karya fenomenalnya dalam bidang filsafat "Tahafut Al-Falasifah"
yang merupakan kritik tajamnya terhadap beberapa pendapat bebe-rapa filosof. (Ahmad
Syamsuddin, Ibid, hal. 6)
Di samping
itu, al-Ghazali juga melakukan kajian yang mendalam pada sejumlah pemikiran
dalam berbagai bidang yang berkembang pada masanya, yang kemudian melahirkan
beberapa kritiknya terhadap empat kelompok aliran pemikiran yang sedang
berkembang pada masa itu, yakni teolog, filosof, aliran bathiniyah, dan kaum
sufi. (Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal, Damascus, tp, 1934,
hal.13. Kritik-kritik al-Ghazali itu secara ringkas dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Kepada teolog, al-Ghazali berkomentar bahwa mereka mengasas-kan
dalil-dalilnya pada karya para filosof untuk menopang paham teologinya atau
mematahkan pendapat lawannya dari kalangan fi-losof maupun teolog lain. Pada
masa itu, teologi telah berpadu dengan filsafat. Akibatnya, sebagian orang
mengira bahwa kedua-nya sama, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun dalam
Muqaddimah-nya.(Ibn Khaldun, Al- Muqaddimah, Al-Mathba'ah al--Bahiyyah, Kairo,
tt., hal.327) Kebanyakan yang mereka dalami hanya untuk menyatakan
kontradiksi-kontradiksi pendapat lawan, dan mengkritiknya dengan
postulat-postulat mereka sendiri. Pe-ngenalan Allah, sifat-sifat dan
perbuatan-Nya, tidak akan ter-capai lewat teologi, Malah hampir menjadi
penghalang...banyak-nya perdebatan agama dengan cara para teolog dan
penyianyiaan waktu dalam detail-detail ilmu mereka, menghalangi manusia yang
ingin meraih kesempurnaan ruhaniah. (Abu Hamid al- Ghazali, Al Munqidz min
al-Dlalal, op.cit., hal.9. Lihat pula Ihya Ulum al--Din, Jilid I, Al Babi al-Halabi,
Kairo, 1334 H, ahl. 36 dan 68)
2. Terhadap filosof, al-Ghazali melancarkan kritik yang cukup keras. Menurutnya
ada tiga kekeliruan mendasar para filosof. Pertama, pendapat mereka tentang
qadimnya alam semesta. Kedua, ...lanjutan...pendapat para filosof bahwa Allah
hanya mengetahui totalitas, tidak mengetahui detail-detail. Ketiga,
pengingkaran para filo-sof terhadap kebangkitan fisik di akhirat kelak. Secara
leng-kap, di dalam Tahafut al Falasifah, diungkap kritik al-Ghazali terhadap
filosof yang seluruhnya berjumlah duapuluh poin. Dalam makalah ini hanya
disebut tiga hal.
3. Aliran Bathiniyah atau Ta'limiyah, yaitu madzhab Syiah Isma'iliyah, juga
mendapat kritik dari al-Ghazali. Pada masa al-Ghazali, aliran bathiniyah
mendapat banyak pengikut. Mereka berpendapat bahwa mereka mendapat mendapat
petunjuk dari Imam yang ma'shum (terjaga dari dosa). Pendapat ini ditentang
al-Ghazali dengan menyatakan bahwa yang ma'shum hanyalah Nabi Muhammad.
Pendapat mereka tentang ilmu batin sama sekali tidak berdasar. Rasulullah
bersabda : "Aku menetapkan hukum atas segala sesuatu yang menggejala,
sementara yang dirahasiakan dibalik itu, hanya Allah yang mengetahuinya. (Abu
Hamid al--Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal, op.cit, hal. 24-25) Golongan ini
menurut al-Ghazali bukanlah termasuk kelompok yang dapat mencapai kebenaran
yang hakiki)
Saat itu, disiplin ilmu-ilmu agama, bahkan keberagamaan itu sendiri, tampaknya
telah menjadi sangat formalistis. Agama ketika itu telah diperlakukan sebagai
obyek kajian (obyek material) dari beberapa sudut pandang dan untuk mengejar
kepentingan-kepentingan profan ketimbang sebagai ajakan ilahi agar manusia
dapat mencapai keluhuran budi dan keluhuran ruhani. Ilmu fiqh, Ilmu kalam, dan
filsafat adalah kajian eksoteris yang telah kehilangan dimensi 'dalam'-nya, dan
menampakkan diri sebagai seni perdebatan--secara sinis, sebagai semata
dialekti-ka pemikiran dan akrobatik verbal--dari kaum intelektual yang
mengharapkan popularitas dan kedudukan. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihya' Ulum
al-Din, op.cit., Jilid I, hal. 3-5) Dalam pandangan al--Ghazali, kehidupan
dan perkembangan ilmu, apalagi ilmu agama, tanpa kandungan nuansa ruhaniah
adalah percuma.
Setelah rampung mengkritik para teolog, filosof, dan penganut aliran batiniyah,
al-Ghazali mulai mengkaji karya--karya sufi secara mendalam. ( Mahmud Hamdi
Zaqauq, Al-Manhaj al-Falsafi baina al--Ghazali wa Dikart, diterjemahkan dengan
judul Al-Ghazali Sang Sufi Sang Filosof, Pustaka, Bandung, 1981) Akhirnya
ia tertimpa krisis psikis yang sangat kronis, karena ia tahu betapa senjangnya
antara kehidupan sufi dan jalan yang ditempuhnya saat itu; yang pres-tisius,
mencari ketenaran dan kekayaan. (Syed Amir Ali, op.cit., hal. 463)
Krisis ini berlangsung selama enam bulan dan membuatnya menjadi sangat lemah.
Agaknya, hal tersebut timbul karena ia hendak bertindak jujur terhadap dirinya
sendiri. Ia sadar bahwa motivasinya mengajar ilmu-ilmu, pada awalnya, tidak
lain adalah hanyalah untuk memperoleh jabatan dan membuatnya terkenal, yang ia
sadari betapa rendahnya motivasi itu. Untuk itu ia berusaha melepaskan diri
dari sikap yang demikian.
Akibat krisis ini, al-Ghazali meninggalkan kedudukannya sebagai guru besar di
perguruan Al-Nizamiyah pada tahun 488 H/1095 M. Ia berhenti mengajar dan
ber-uzlah selama sepuluh tahun.
(Kejadian uzlah-nya itu secara detail
diungkap sendiri oleh Al-Ghazali dalam al-Munqidz min al-Dlalal bab Thuruq
al-Shufiyah: "Lalu kualihkan tatapanku ke jalan para sufi. Kuketahui ia
tak dapat dilintasi ke ujungnya tanpa ajaran dan amalannya. Dan bahwasanya inti
ajarannya terletak pada pengendalian nafsu badaniah dan keberhasilan dalam
membersihkan watak-watak jahat dan sifat-sifat keji, hingga hati bersih dari
segalanya kecuali Allah. Dan makna pembersihan ini adalah makna dzikir Allah,
yakni mengingat Allah dan mencurahkan segala pikiran pada-Nya. Bagiku kini
ajarannya lebih mudah ketimbang amalan-amalannya, maka mulailah kupelajari
ajaran mereka dari berbagai kitab dan tuturan para syeikh mereka, hingga
kuperoleh jalan mereka dengan belajar dan menyimak, dan dengan jelas kulihat
bahwa hal-hal paling ganjil pada mereka tak dapat dipelajari, melainkan melalui
pengalaman, ektase, dan perubahan batiniyah. Yakinlah aku bahwa kini telah
kuperoleh semua pengetahuan tasa-wuf yang bisa dicapai melalui belajar.
Selebihnya, tiada jalan kepadanya melainkan dengan mengikuti kehidupan para
sufi.
Setelah itu, kulihat diriku sebagaimana adanya. Segenap pamrih duniawi melanda
diriku. Bahkan pekerjaanku sebagai gurupun, suatu amalan yang terbaik, tampak
sia-sia dan tiada manfaat ukhrawi, manakala kuperhatikan tujuannya aku
melakukan semua itu bukan demi Allah, tetapi untuk kemegahan dan reputasi.
Ku-sadari bahwa diriku berada di tepi jurang dan nyaris jatuh ke dalam api
neraka jika tak segera kuperbaiki jalan--jalanku...Sadar akan ketakberdayaan,
seraya mengerahkan segenap kemauan, kucari perlindungan kepada Allah, ibarat
orang dilanda kesulitan tanpa berdaya lagi. Allah mengabulkan doaku, dan
me-mudahkan aku berpaling dari kemasyhuran, kekayaan, isteri, anak-anak, dan sahabat.")
Sejak pengunduran diri hingga saat wafatnya tahun 505 H/1111 M, al-Ghazali
menjalani kehidupan sederhana sebagai seorang sufi, di samping selingan
aktifitas belajar dan menyusun sejumlah kitab. ( A.J. Arberry, Ibid, hal.
103) silahkan baca juga IMAM AL GHAZALI
Artikel keren lainnya:
Belum ada tanggapan untuk "Figur dan Perjalanan Hidup Al Ghazali Menuju Tasawuf"
Posting Komentar